Pada suatu malam minggu di bulan September yang baru lalu, di
sebuah rumah kosong yang sedang ditinggal pemiliknya yang terletak di sebuah
gang daerah berpenduduk padat, berkumpul empat orang anak muda satu diantaranya
seorang mahasiswa fakultas hukum negeri ternama, satu penyadap karet dan
satunya pemain sepak bola amatir, satu pemain sulap serta satu orang
purnawirawan kepolisian yang pernah mendaftar untuk jadi pimpinan KPK tapi tidak lolos dalam verifikasi
administratif.
Pembicaraan mereka cukup panas, karena selain menghujat beberapa
petinggi yang cuma pintar omong tapi ngga becus kerja, tentang mendadak
batalnya kunjungan kenegaran pak SBY ke Belanda yang memalukan itu, tentang
banyaknya artis yang nyalonin jadi bupati, gubernur, anggota dewan, mereka juga
omong tentang teroris, kriminalisasi pimpinan KPK, putusan penonaktifan Jaska Agung dari MK, pembakaran kereta api,
mutilasi, bencana Wasior, sampai cuaca ekstrim yang akhir-akhir ini sedang melanda
beberapa daerah di negeri ini. Diantara mereka, ada yang berpendapat bahwa
semua kejadian yang tampak janggal dan carut marut ini saling kait mengkait dan
merupakan tanda-tanda akhir zaman. Wah…terlalu jauh.
Menjelang dini hari, topik mereka beralih, percakapan mulai ringan
dan diselingi ketawa ketiwi. Suasana benar-benar sudah mencair, dan bila suatu
pertanyaan meluncur, satu sama lain tidak ada yang memberikan jawaban yang
sebenarnya melainkan dengan pelesetan-pelesetan yang menggelikan.
Kini giliran si mahasiswa fakultas hukum yang bertanya, dan tentu
saja pertanyaanya seputar disiplin ilmunya. “Saya punya tiga pertanyaan, tolong
bapak dan teman-teman berikan arti, makna ataupun definisinya sesuai latar
belakang keahlian bapak dan teman-teman atas pertanyaan berikut ini. Apa itu Hukum,
Hakim dan Hukuman?,
Setelah satu sama lain saling melempar siapa yang akan menjawab
duluan, maka ketiga anak muda itu menodong
pak Purnawirawan untuk menjawab duluan, kerena selain masalah senioritas
juga beliau cukup kenyang malang melintang dalam dunia hukum.
PURNAWIRAWAN
POLISI
Begini, sepanjang yang bapak
pelajari di bangku pendidikan, waktu bapak dines dulu, definisi hukum
hingga saat ini belum dan tidak akan pernah seragam, meskipun substansinya hampir
sama. Pengertian hukum sangat tergantung pada faktor ruang, waktu, tempat dan kepentingan, jadi artinya bisa
beda-beda dan bahkan bisa berubah-rubah. Ibarat setir mobil gitu loh, bisa
dibelokan ke kiri, ke kanan atau diputar seratus delapan puluh derajat, anda-anda
fahamlah maksud saya. Kalau Hakim, mereka itu mitra kami, seperti halnya jaksa
dan pengacara, meski kadang juga bersebrangan ketika ada “hakim nakal”
dilaporkan korbannya ke kami, dan sebaliknya ketika ada kolega kami yang “tersandung
masalah” di pengadilan seperti halnya pak Susno. Sedang kalau hukuman, ini yang selalu saya
pertahankan obyektifitasnya berdasar hukum. Saya sangat bersemangat untuk
membuktikan sebaliknya dengan tudingan bahwa polisi suka mempersulit yang
mudah, dan tambah mempesulit yang sulit. Hukum (hukuman) harus ditegakan, dan
setiap perbuatan ada ganjarannya harus sesuai dengan perbuatan, karena itulah maka
ada disparitas ancaman. Ini sekedar
tambahan saja, kenapa kalau ada hakim yang dilaporkan polisi bapak sebut dalam
tanda kutip hakim nakal, sedang kalau ada polisi di proses pidana bapak ketakan
tersandung masalah, itulah yang namanya bela korp. Ha…ha… ha… dan semua itu
dilakukan oleh instansi lainnya.
PENYADAP
KERET
Buat saya, hukum itu sama dengan karet, elastis banget. Bisa
ditarik-tarik (baca: bisa diperdebatkan, bisa ditarik ulur), bisa menjepret
(bisa memenjarakan orang), bisa buat ngiket (mempunyai kekuatan mengikat).
Sedang kalau hakim ialah orang yang memutuskan anaknya nginap di hotel prodeo selama tiga
taun untuk suatu perbuatan yang menurut saya tidak dilakukannya, dan kalau hukuman
yaitu ketika tangan saya dipukuli rotan oleh guru ngaji (kakeknya) waktu kecil
dulu karena saya lumayan bandel.
PEMAIN
SEPAKBOLA AMATIR
Wah kalau saya sebagai pemain dan penggemar berat sepak bola,
pendapat saya beda walau agak mirip-mirip. Dalam pandangan saya, kalau melihat
fenomena dan kejadian faktual yang banyak terjadi di lapangan, hukum itu bisa
diibaratkan sama dengan bola, bisa disundul-sundul (baca: di junjung tinggi,
dihormati), digiring-giring (dibelokan ke kanan-ke kiri), ditendang-tendang (dilanggar
walau sudah tau ancaman hukumannya) dan dikangkangi (penyelundupan hukum). Jadi
pendek kata, definisi hukum amat bergantung pada siapa yang berkepentingan
atas-nya. Sedang kalau hakim yang saya tau, ya cuma hakim garis dan wasit,
merekalah yang paling saya segani. Dan untuk hukuman, ya kalau pemain diganjar
kartu kuning atau kartu merah karena bikin pelanggaran di lapangan, itupun
kalau terlihat oleh hakim garis dan wasit.
PEMAIN
SULAP
Menurutku singkat saja, hukum itu ya permainan sulap, pat gulipat
aba kadabra, silahkan artikan sendiri. Dan salah satu pemain sulap yang lumayan
mahir ya hakim, yang bisa bikin hotel jadi penjara dan sebaliknya, yang bulet
bisa jadi lonjong, dan yang salah bisa bener. Dan hukuman, ya ganjaran buat
penonton permainan sulap yang ngga ngerti sulap, kok mau-maunya diboongin.
Akhirnya, karena malam semakin larut, Pak Purnawirawan pamit
duluan, kemudian disusul si Pemain Sepakbola Amatir dan setelah merasa tak
lengkap lagi akhirnya mereka yang tersisajuga membubarkan diri.