Pernikahan sirri
adalah suatu pernikahan yang hanya dilakukan di depan penghulu atau petugas
keagamaan dengan tatacara sebagaimana dianut dalam agama masing-masing, tanpa
dicatatkan pada lembaga resmi pemerintah yakni melalui Kantor Urusan Agama
(bagi yang beragama Islam) atau melalui Kantor Catatan Sipil (bagi yang
beragama non Islam). Nikah secara sirri dalam pandangan agama tetap syah
hukumnya selama dilakukan memenuhi syarat dan rukun pernikahan secara agama
yang dianut, walaupun dalam ranah hukum positif, pernikahan sirri tetap tidak
diakui.
Pernikahan sirri
identik dengan pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, karena
banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang salah satu pasangannya telah terikat
dengan perkawinan. Hal ini dilakukan untuk menghindari publisitas karena untuk
menjaga kerahasiaan. Dengan perkawinan sirri, pihak yang telah memiliki
pasangan juga terhindar dari kemungkinan melakukan perbuatan yang melanggar
hukum seperti memalsukan dokumen, merubah status diri, pemalsuan tanda tangan
istri dan lain-lain.
Tetapi dalam kenyataan
di masyarakat, ada banyak pernikahan sirri bukan dilakukan karena alasan
tersebut di atas. Perkawinan sirri dilakukan secara terbuka di depan umum,
disaksikan para family dari kedua belah pihak dan bahkan mengundang para
tetangga. Hal ini dilakukan dengan berbagai alasan seperti untuk menghindari
perbuatan tercela (zinah), mengikat dulu salah satu pihak agar tidak jatuh ke
pasangan lain, dan yang paling klasik adalah karena ketidak mampuan secara
financial.
Pernah penulis temui
satu pasangan suami-istri yang menikah secara sirri dan dikaruniai 2 (dua)
orang anak. Perkawinan sirri dilangsungkan atas restu kedua orang tua dan
disaksikan oleh para family dari kedua pasangan tersebut, dengan alasan karena
calon pengantin pria akan bertugas ke luar kota dan ingin membawa serta sang
istri sehingga diputuskan harus segera dinikahkan. Setelah pernikahan
berlangsung 8 (delapan) tahun, pasangan tersebut baru menyadarinya bahwa
pernikahan mereka belum dicatatkan secara resmi ke Kantor Urusan Agama sehingga
berdampak pada akta kelahiran untuk kedua anaknya yang hanya mencantumkan
nama ibunya, sehingga sang ayah menjadi gelisah dan merasa berdosa karena
telah lalai dalam masalah pencatatan pernikahan ka Kantor Urusan Agama.
ANAK LUAR KAWIN
Dalam istilah hukum
keperdataan, anak yang dilahirkan tanpa suatu ikatan perkawinan resmi yang
dicatatkan melalui Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil sebagaimana
diamantkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang berlaku berdasarkan
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 19991, dinamakan anak luar kawin.
Selain dari hasil
perkawinan sirri, anak luar kawin juga bisa terjadi karena hasil perzinahan
yang dalam hukum keperdataan umum, dinamakan suatu perzinahan jika satu atau
kedua-duanya dari pesangan tersebut telah terikat dengan perkawinan. Hal ini
berbeda dalam ketentuan pada hukum islam, dimana suatu perzinahan dilakukan
tanpa melihat status hukum para pelaku, apakah sudah terikat perkawinan atau
belum, baik salah satu atau keduanya. Tetapi sesuai tema tulisan ini, maka yang
dibahas adalah anak luar kawin dari hasil perkawinan sirri.
DAMPAK PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
Terhadap permasalahan
anak luar kawin dengan akibat hukumnya pada masalahn akta kelahiran anak yang
hanya mencatatkan nama ibunya, telah menarik perhatian banyak pihak sehingga
ada pihak yang mengajukan uji materi kepada Mahkamh Konstitusi atas pasal-pasal
pada undang-undang tentang administrasi kependudukan, dimana MK sendiri telah
mengabulkan sebagaian tuntutan yang diajukan pemohon, yakni
Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 18/PUU-XI/2013 tentang uji materi atas beberapa ketentuan dalam
Pasal 32 ayat (1), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 dalam Pasal 32 ayat (3) dalam
UU No. 32 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Disamping itu,
terdapat Rumusan Hasil Diskusi Kelompok Bodang Peradilan Agama (Komisi II)
dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Mahkamah Agung pada tanggal 31 Oktober
2012 yang antara lain merumuskan masalah hak anak luar kawin.
Dengan adanya
pembaharuan hukum tersebut walaupun tidak dalam bentuk perundang-undangan tetap
mempunyai kekuatan mengikat, sekarang terbuka lebar kepada siapapun untuk
mencatatkan anaknya dalam administrasi kependudukan (untuk mendapatkan akta
kelahiran), walaupun telah melampaui batas waktu yang ditentukan, sepanjang
terpenuhi syarat-syarat lainnya.
ISBAT NIKAH
Bahwa pada dasarnya
tiap-tiap perkawinan harus dicatatkan menurut ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undnag-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
yang berlaku berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991.
Terhadap kelalaian
yang telah dilakukan oleh pasangan di atas yakni tidak mencatatkan
perkawinannya pada KUA, maka mereka mengajukan permohonan Isbat Nikah ke
Pengadilan Agama dan dalam petitumnya memohonkan agar perkawinan mereka
dinyatakan syah menurut hukum dan memerintahkan PPN/KUA kecamatan setempat
untuk mencatat perkawinannya, memberikan kutipan akta nikah serta menyatakan
bahwa kedua anaknya adalah anak syah dari perkawinan mereka.
Atas dasar salinan
penetapan pengadilan agama dan kutipan akta nikah dari KUA tersebut, maka
mereka kemudian mengurus ke Kantor Catatan Sipil agar kepada kedua anaknya
diberikan Akta Kelahiran sebagaimana akta yang lazim diberikan kepada anak
didaftarkan dengan prosedur normal.